Jumat, 06 Desember 2013

Moral Story dari Sri Mulyani

Dua hari lalu Bapak menerima rekaman pernyataan Sri Mulyani di Hotel Ritz Carlton dan mendengarkan secara seksama ungkapan-ungkapan keprihatinan dan perjuangan dalam memperbaiki perekonomian nasional Indonesia. Berikut ini catatan dari Bapak:
Intelijen Indonesia termasuk minoritas elemen bangsa Indonesia tanpa kepentingan pribadi yang berusaha menjaga stabilitas ekonomi Indonesia melalui upaya-upaya mendorong dan memelihara proses reformasi sistem ekonomi nasional termasuk dalam masalah etika.

Sebagaimana sahabat Blog I-I perhatikan isi dari ratusan artikel Blog I-I umumnya adalah bagaimana intelijen sebagai salah satu unsur penting dari penyelenggaraan negara dapat memberikan masukan yang tepat bagi Presiden, termasuk ketika akhirnya Presiden terjepit dalam membela Sri Mulyani atau mengalah kepada tekanan pengusaha hitam dan politisi haus kekuasaan.
Dunia dalam sejarahnya bergerak dari sejumlah sebab dan menjadi akibat. Secara ideologi, Blog I-I menganjurkan posisi Indonesia yang pragmatis dan senantiasa fleksibel dalam melakukan adjustment dengan dinamika global, bukan terserap ke dalam arus ekonomi dunia sebagaimana dituduhkan sebagian kalangan yang sok-sokan mengaku pembela ekonomi rakyat namun tidak mengerti mekanisme dan sistem yang tepat. Apa yang dilakukan Sri Mulyani selama ini jauh dari tuduhan neolib karena Intelijen Indonesia tahu persis siapa-siapa yang dibayar untuk membunuh karakter Sri Mulyani dengan tuduhan Neolib, mudahnya perhatikan siapa-siapa yang teriak-teriak tentang Neolib…mereka semua bayaran bukan?
Namun Blog I-I tetap memperhatikan petingnya proteksi dalam pengertian kepedulian terhadap angka kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi di Indonesia, dimana perlu ada semacam program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui program-program yang tepat termasuk dalam memperkuat industri kecil dan menengah. Namun hal itu seyogyanya bersih dari unsur kepentingan kelompok yang akan diuntungkan dari sebuah kebijakan publik, hal ini terkait dengan etika yang dikemukakan Sri Mulyani.
Kebenaran adalah kebenaran dan tidak dapat dipalsukan oleh propaganda murahan untuk menjadikan kebenaran itu sebagai sesuatu yang salah. Sehingga tidak perlu kita ambil pusing karena pada saat pihak-pihak yang senang memalsukan kebenaran bercerita tentang kebohongan, kita harus tetap teguh menceritakan tentang kebenaran dengan ketulusan. Walaupun sepintas waktu kita melihat bahwa Indonesia masih akan diliputi awan gelap angkara murka kepalsuan dan kepentingan individu dan kelompok, namun cahaya pencerahan Republik Indonesia yang kita cita-citakan masih ada di ujung lorong yang sedang kita lalui saat ini.
Pernyataan Sri Mulyani tentang kemenangan sangat dipahami dan sejalan dengan semangat Blog I-I. Ada hal menarik yang dapat sahabat Blog I-I renungkan dan jadikan pegangan dalam menjalankan tugas membela Republik Indonesia, sbb;
Pertama, tidak menghianati kebenaran. Hal ini merupakan jati diri reformasi Intelijen Indonesia untuk memperbaiki diri dengan berpegang teguh pada kebenaran. Walaupun banyak pihak menyatakan bahwa kebenaran bersifat relatif dan sangat dipengaruhi oleh cara pandang dan keyakinan, namun dapat saya garis bawahi disini yaitu pada saat hati nurani kita berteriak ada yang salah maka hal itu sudah melanggar keyakinan kita pada kebenaran. Sampaikanlah kebenaran walaupun hal itu akan mengorbankan diri kita sebagai abdi negara. Sudah waktunya kita berdiri tegak demi kemajuan Republik Indonesia dan demi masa depan bangsa Indonesia.
Kedua, tidak mengingkari nurani diri sendiri. Menyambung pada poin nomor pertama diatas, nurani atau hati nurani adalah suara dalam diri kita sendiri yang akan segera berteriak ketika kita melangkah pada hal-hal yang tidak benar menurut cara pandang dan keyakinan kita. Manakala dilanggar kita telah mengiris hati nurani kita sendiri. Mudahnya demikian: pada suatu ketika seorang petugas akan dihadapi oleh kesempatan untuk mencuri uang negara, apapun alasannya ketika kita akan mencuri akan terdengar suara lirih di hati kita …..jangan ! Membunuh nurani kita sendiri rasanya akan sama dengan membunuh jiwa, sekali…dua kali…tiga kali, maka kita akan terbiasa dan akhirnya nurani kita bungkam terbungkus oleh pembenaran perilaku nafsu.
Ketiga, menjaga martabat dan harga diri. Hal ini identik dengan jati diri manusia dan bukan refleksi kesombongan karena berbangga-bangga dengan martabat. Jatuhnya martabat seseorang bukan disebabkan oleh apa yang disebutkan orang lain, kita boleh saja senang berpakaian sederhana, namun akan ada orang lain yang menilainya kampungan.
Sedangkan harga diri terkait dengan prinsip-prinsip dasar yang diyakini seseorang dan menjadi pegangan dalam perjalanan hidupnya. Pada saat prinsip tersebut dilanggar, maka harga dirinya lenyap, hancur atau menguap dan akhirnya menjadi olok-olok manusia yang berjiwa rendah karena sama-sama tidak memiliki apa yang disebut harga diri. Salah satu contoh sederhana manusia yang tidak memiliki harga diri adalah mereka yang melakukan segala cara dalam mencapai jabatan dan kekuasaan termasuk dengan menjual dirinya dan mengemis kesana kemari, bahkan mengeluarkan modal besar sebagai bentuk investasi untuk mempengaruhi proses dirinya menjadi pejabat tinggi.
Hanya satu catatan dalam melihat kemenangan yang didefinisikan Sri Mulyani, yaitu bahwa bangsa Indonesia kalah dalam semangat reformasi dan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Sri Mulyani boleh merasa menang karena dirinya tidak terkontaminasi kebusukan politik dan keserakahan sejumlah elit nasional serta dapat mempertahankan integritasnya, bahkan sesungguhnya saya juga tahu bahwa Sri Mulyani berani untuk membuka seluruh kebusukan kasus Bank Century demi kebenaran.
Tetapi karena kisah akhirnya adalah konspirasi politik, maka saya lebih melihatnya sebagai kekalahan telak kepada apa yang kita yakini sebagai etika, kebenaran, nurani, dan harga diri. Kepada siapa bangsa Indonesia mengharapkan proses perbaikan apabila satu persatu individu yang memiliki integritas di negeri ini melepaskan pengaruh dan kekuasaannya.
Catatan terakhir, Sri Mulyani harus melihat juga dari sisi di luar diri pribadinya, yaitu 260 juta penduduk Indonesia tertegun melihat drama Bank Century dalam kabut kebohongan publik dan konspirasi politik…bertanya-tanya apa yang sesungguhnya terjadi.
Bangsa Indonesia juga meraba-raba di dalam gua yang gelap terseok-seok dalam lorong yang becek, lembab dan berbau, dan bertanya mengapa cahaya di ujung lorong ini semakin redup. Sementara dalam pusing dan mual, bangsa Indonesia juga mendengar suara pesta hiruk-pikuk koalisi kepentingan serta rencana-rencana mengatur kue negara…Oh tidak ! seorang nenek yang sudah lemah berseru, pesta itu seperti di masa saya muda dan akibatnya saya menjadi menderita begini, bangsa Indonesia kehilangan harga diri dan jati dirinya.
Semoga catatan ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua dalam menilai diri kita masing-masing, serta dalam melihat dinamika politik, ekonomi, sosial dan budaya di negeri yang kita cintai Republik Indonesia.
Demikian penuturan Bapak Senopati Wirang.
Sekiranya sahabat Blog I-I ada yang memiliki akses kepada Sri Mulyani, alangkah baiknya catatan Bapak dapat disampaikan sebagai bacaan ringan ke Washington.
(Blog Intelijen Indonesia: http://intelindonesia.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar